Pendidikan dan
Pembentukan Karakter Anak
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di era globalisasi yang di tandai dengan kemajuan
dunia ilmu informasi dan teknologi, memberikan banyak perubahan dan tekanan
dalam segala bidang. Dunia pendidikan yang secara filosofis di pandang sebagai
alat atau wadah untuk mencerdaskan dan membentuk watak manusia agar lebih baik
(humanisasi), sekarang sudah mulai bergeser atau disorientasi. Demikian
terjadi salah satunya dikarenakan kurang siapnya pendidikan untuk mengikuti
perkembangan zaman yang begitu cepat. Sehingga pendidikan mendapat krisis dalam
hal kepercayaan dari masyarakat, dan lebih ironisnya lagi bahwa pendidikan
sekarang sudah masuk dalam krisis pembentukan karakter (kepribadian) secara
baik. Hal ini terlihat dalam realita masih banyak peserta didik tingkat setara
SMA/SMK sering muncul dalam media masa dalam aksi tawuran dan pengrusakan
fasilitas sekolah.
Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan
primer atau mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama
sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang dengan cita-cita
untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut konsep pandangan hidupnya.[1] Dalam pengertian sederhana dan umum
makna pendidikan adalah usaha sadar manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan
potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai
yang ada di dalam masyarakat dan agama.
Pendidikan bertujuan tidak sekedar proses alih budaya
atau alih ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga
sekaligus sebagai proses alih nilai (transfer of value). Artinya bahwa
Pendidikan, di samping proses pertalian dan transmisi pengetahuan, juga
berkenaan dengan proses perkembangan dan pembentukan kepribadian atau karakter
masyarakat. Dalam rangka internalisasi nilai-nilai budi pekerti kepada peserta
didik, maka perlu adanya optimalisasi pendidikan. Perlu kita sadari bahwa
fungsi pendidikan Nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembanganya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlakul
karimah, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.[2] Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa
pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti
(kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Bagian-bagian
itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesem-purnaan hidup
anak-anak kita. Pendidikan karakter merupakan bagian integral yang
sangat penting dari pendidikan kita.
Pendidikan juga dipandang sebagai sebuah sistem
sosial, artinya dikatakan sistem sosial disebabkan di dalamnya berkumpul
manusia yang saling berinteraksi dengan lingkungannya. Untuk menuju pada
pendidikan yang dapat beradaptasi dengan lingkungannya, yaitu dengan cara
melakuakan perubahan-perubahan susunan dan proses dari bagian-bagian yang ada
dalam pendidikan itu sendiri.[3] Sehingga pendidikan sebagai agen
perubahan sosial diharapkan peranannya mampu mewujudkan perubahan nilai-nilai
sikap, moral, pola pikir, perilaku intelektual, ketrampilan, dan wawasan para
peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri.
Maka dari itu dalam makalah ini, penulis akan
memberikan penjelasan dan pembahasan mengenai pendidikan dan pembentukan
karakter, yang di dalamnya akan dibahas secara singkat tentang pendidikan dan
pembentukan karakter (pendidikan karakter), dan hubungan antara pendidikan dan
pembentukan karakter. Diharapkan dalam penulisan makalah ini dapat memberikan
sebuah pencerahan dan pelajaran untuk memperbaiki dunia pendidikan lebih baik
lagi.
- B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi di atas, maka dapat ditarik
rumusan permasalahan sebagai berikut :
- Bagaimana pengertian pendidikan dan
pembentukan karakter?
- Bagaimana
hubungan antara pendidikan dan pembentukan karakter?
- Bagaimana
implementasi pendidikan karakter?
C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penulis
menulis makalah ini sebagai berikut :
- Untuk
mengetahui pengertian pendidikan dan pembentukan karakter.
- Untuk
mengetahui hubungan antara pendidikan dan pembentukan karakter.
- Untuk
menambah wawasan khasanah keilmuan tentang wacana implementasi pendidikan
karakter.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[4] Dalam pengertian yang sederhana dan
umum makna pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan
potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang ada dalam masyarakat.[5]
Berbicara pendidikan sangat erat kaitannya dengan
kemajuan peradaban manusia. Karena pendidikan merupakan bagian penting dari
kehidupan manusia yang tidak pernah bisa ditinggalkan. Sebagai sebuah proses,
ada dua asumsi yang berbeda mengenai pendidikan dalam kehidupan manusia.
Pertama, ia bisa dianggap sebagai proses yang terjadi secara tidak disengaja
atau berjalan secara alamiah. Dalam hal ini, pendidikan bukanlah proses yang
diorganisasikan dan direncanakan secara sistematis, melainkan merupakan bagian
kehidupan yang memang telah berjalan sejak manusia itu ada. Kedua, pendidikan
bisa dianggap sebagai proses yang terjadi secara di segaja, direncanakan, dan
didesain dengan sistematis berdasarkan aturan-aturan yang berlaku terutama
perundang-undangan yang dibuat atas dasar kesepakatan masyarakat.
Tujuan-tujuan pendidikan misalnya secara umum orang
memahami bahwa tujuan pendidikan adalah mengarahkan manusia agar berdaya,
berpengetahuan, cerdas, serta memiliki wawasan ketrampilan agar siap menghadapi
tantangan kehidupan dengan potensi-potensinya yang telah diasah dalam proses
pendidikan. Misalnya, kita sering memahami bersama secara universal bahwa
pendidikan itu berkaitan dengan kegiatan yang terdiri dari proses dan tujuan
berikut.
- Proses
pemberdayaan (empowerment), yaitu ketika pendidikan adalah proses
kegiatan yang membuat manusia menjadi lebih berdaya menghadapi keadaan
yang lemah menjadi kuat.
- Proses
pencerahan (enlightment) dan penyadaran (conscientization),
yaitu ketika pendidikan merupakan proses mencerahkan manusia melalui
dibukanya wawasan dengan pengetahuan, dari yang tidak tahu menjadi tahu.
- Proses
memberikan motivasi dan inspirasi, yaitu suatu upaya agar para peserta
didik tergerak untuk bangkit da berperan bukan hanya sekedar karena arahan
dan paksaan, melainkan karena diinspirasi oleh apa yang dilihatnya yang
memicu semangat dan bakatnya.
- Proses
mengubah perilaku, yaitu bahwa pendidikan memberikan nilai-nilai yang
luhur dan ideal yang diharapkan mengatur perilaku peserta didik kearah
yang lebih baik.[6]
Akan tetapi, proses realitas yang terjadi dan sering
kita jumpai adalah proses dan out put pendidikan tidak sesuai dengan
cita-cita yang indah semacam itu. Mislanya, kita justru melihat realitas
pendidikan yang terkesan menghasilkan manusia-manusia yang kehilangan potensi
dirinya, manusia yang serakah, merusak dan penindas baru bagi kaum yang lemah,
serta manusia-manusia yang justru mengisi sistem yang mengarahkan menuju
tatanan yang malah tidak memanusiakan manusia.
- B.
Pengertian Pembentukan Karakter
Hakekat karakater ialah Menurut Simon Philips,
karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang
melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sedangkan Doni
Koesoema, memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap
sebagai ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri
seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan.[7] Sementara Winnie, memahami bahwa
istilah karakter memiliki dua pengertian. Pertama, ia menunjukkan bagaimana
seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam,
atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk.
Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang
tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat
kaitannya dengan “personality”. Seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter
(a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.[8]
Dalam hal ini akar dari semua tindakan yang jahat dan
buruk, tindakan kejahatan, terletak pada hilangnya karakter. Karakter yang kuat
adalah sandangan fundamental yang memberikan kemampuan kepada populasi manusia
untuk hidup bersama dalam kedamaian serta membentuk dunia yang dipenuhi dengan
kebaikan dan kebajikan, yang bebas dari kekerasan dan tindakan-tindakan tidak
bermoral.
Karakter tidak diwariskan, tetapi sesuatu yang
dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan,
pikiran demi pikiran, tindakan demi tindakan. Karakter dimaknai sebagai cara
berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama,
baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.[9]
Untuk memahami makna pembangunan karakter dan mengapa
hal itu penting, ada suatu kisah yang menarik yang akan penulis sampaikan.
Suatu ketika, ada seorang pendidik yang mengusulkan kepada seorang kepala
sekolah agar dalam penerimaan peserta didik baru tidak menggunakan tes ujian
masuk dalam model apapun. Reaksi sang kepala sekolah menjadi tekaget-kaget luar
biasa. “Kalau penerimaan peserta didik baru tidak melalui tes terdahulu, pasti
sekolah ini nanti akan banyak diisi oleh peserta didik yang bodoh-bodoh dan
nakal-nakal. Terus bagaimana kualitas lulusan kita nanti”. Demikian alasan sang
kepala sekolah.
Kemudian, ia menjelaskan alasannya kepada kepala
sekolah tersebut. Alasannya begini: para peserta didik baru itu pada dasarnya
tidak ada yang bodoh, tidak ada yang nakal, tidak ada yang kekurangan sifatnya.
Dengan demikian, setelah para peserta didik baru yang masuk tanpa tes itu
diterima, mereka kemudian akan menjalani penelitian kecerdasan yang dimiliki
masing-masing. Hal ini dalam istilah ilmi psikologi pendidikan disebut Multi
Intelegences Research (MIR). Tindakan tersebut digunakan untuk mengetahui
gaya belajar peserta didik, sebuah data yang sangat penting yang harus
diketahui oleh para guru yang akan mengajar mereka.
Menurut penulis, cerita pendidik tersebut memang ada
benarnya juga. Pendidikan adalah proses pembangunan karakter. Jadi, sudah
seharusnya tak menjadi sebuah masalah bagi siapa pun yang akan masuk di
dalamnya (sekolah). Pembangunan karakter adalah prose membentuk karakter, dari
yang kurang baik menjadi yang lebih baik.[10] Senada dengan kata-kata filosof
kaliber Plato (428-347 SM), beliau mengatakan “Jika Anda bertanya apa manfaat
pendidikan, maka jawabannya sederhana: Pendidikan membuat orang menjadi lebih
baik dan orang baik tentu berperilaku baik”.
- C.
Hubungan Antara Pendidikan dan Pembentukan Karakter
“Manusia hanya dapat menjadi sungguh-sungguh manusia
melalui pendidikan dan pembentukan diri (character) yang berkelanjutan. Manusia
hanya dapat dididik oleh manusia lain yang juga dididik oleh manusia yang
lain”, begitu kata
Immanuel Kant. Artinya bahwa, pendidikan dan pembentukan karakter sejak awal
munculnya pendidikan oleh para ahli dianggap sebagai hal yang niscaya dan
saling berhubungan.
John Dewey, misalnya, pada tahun 1961, pernah berkata
juga. “Sudah merupakan hal lumrah dalam teori pendidikan bahwa pembentukan
watak atau karakter merupakan tujuan umum pengajaran dan pendidikan budi
pekerti di sekolah.[11] Pendidikan karakter pada hakikatnya
ingin membentuk individu menjadi seorang pribadi bermoral yang dapat menghayati
kebebasan dan tanggung jawabnya, dalam relasinya dengan orang lain dan dunianya
di dalam komunitas pendidikan. Komunitas pendidikan ini bisa memiliki cakupan
lokal, nasional, maupun internasional (antar negara).
Sejalan dengan implementasi pendidikan karakter,
UNESCO dalam empat pilar pendidikan secara implisit sebenarnya juga menyinggung
perlunya pendidikan karakter. Seperti kita ketahui ada empat pilar pendidikan
yang diharapkan ditegakkan dalam implementasi pendidikan diseluruh dunia, yang
meliputi; learning to know, learning to do, learning to be, dan learning
to live together. Dua pilar terakhir learning to be, dan learning
to live together pada hakekatnya adalah implementasi dari pendidikan
karakter.
Dengan demikian, pendidikan karakter mempunyai visi
senantiasa mengarahkan diri pada pembentukan individu bermoral, cakap mengambil
keputusan yang tampil dalam perilakunya, sekaligus mampu berperan aktif dalam
membangun kehidupan bersama. Pendidikan karakter dimulai dari lingkungan
keluarga karena lingkungan inilah yang pertama kali dikenal oleh seseorang
sejak ia lahir. Lingkungan keluarga sangat berpengaruh karena merupakan dasar
dari pembentukan karakter seseorang. Selanjutnya lingkungan tempat tinggal,
lingkungan pergaulan dan sampai pada lingkungan pendidikan (sekolah).
- a.
Posisi Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Nasional
Dalam kebijakan nasional ditegaskan, antara lain bahwa
pembangunan karakter bangsa merupakan kebutuhan asasi dalam proses berbangsa
dan bernegara. Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia sudah bertekad untuk
menjadikan pembangunan karakter bangsa sebagai bahan penting dan tidak
dipisahkan dari pembangunan nasional.
Secara ekplisit pendidikan karakter (watak) adalah
amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang pada pasal 3 menegaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Potensi peserta didik yang akan dikembangkan seperti
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab pada hakikatnya dekat dengan makna karakter. Senada
dengan sembilan pilar pendidikan karakter yang telah dilansir oleh Kementrian
Pendidikan Nasional antara lain. (1). Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya,
(2). Kemandirian dan Tanggung jawab, (3). Kejujuran dan Diplomatis, (4). Hormat
dan Santun, (5). Dermawan, Suka tolong menolong, dan Gotong royong, (6).
Percaya diri dan Kerja keras, (7). Kepemimpinan dan Keadilan, (8). Baik dan
Rendah hati, dan (9). Toleransi, Perdamaian, dan Kesatuan.
Disamping itu pelaksanaanya juga harus tetap
memperhatikan K4 (kesehatan, kebersihan, kerapian, dan keamanan). Dengan
demikian pengembangan potensi tersebut juga harus menjadi landasan implementasi
pendidikan karakter di Indonesia.
- b.
Implementasi Pendidikan Karakter di Indonesia
Sebelum pada implementasi di Indonesia, sebaiknya kita
mengetahui hasil Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Hal
ini yang selanjutnya menghasilkan sebuah Kesepakatan Nasional Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang dinyatakan sebgai berikut:
a). Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan
bagian integral yang tidak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh.
b). Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus
dikembangkan secara komperhensif sebagai proses pembudayaan. Oleh karena itu,
pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh.
c). Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan
tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah, dan orang tua.
Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa harus
melibatkan keempat unsur tersebut.
d). Dalam upaya merevitalisasi pendidikan budaya dan
karakter bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan
dalam pelaksanaan di lapangan.
Kemudian bagaimana implementasi pendidikan karakter di
Indonesia. Menurut Kementrian Pendidikan Nasional, pendidikan karakter harus
meliputi dan berlangsung pada.
1). Pendidikan Formal
Pendidikan karakter pada pendidikan formal berlangsung
pada lembaga pendidikan TK/RA, SD/MI, SMP/MTS, SMA/MAK dan Perguruan Tinggi
melalui pembelajaran, kegiatan kokurikuler dan atau ekstra-kurikuler,
penciptaan budaya satuan pendidikan, dan pembiasaan. Sasaran pendidikan formal
ialah peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan.
2). Pendidikan Nonformal
Dalam pendidikan nonformal pendidikan karakter berlangsung
pada lembaga kursus, pendidikan kesetaraan, pendidikan keaksaraan, dan lembaga
pendidikan nonformal lain melalui pembelajaran, kegiatan kokurikuler dan atau
ekstra-kurikuler, penciptaan budaya lembaga, dan pembiasaan.
3). Pendidikan Informal
Dalam pendidikan informal pendidikan karakter
berlangsung dalam keluarga yang dilakukan oleh orang tua dan orang dewasa di
dalam keluarga terhadap anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya.[12]
- c.
Strategi dan Metodelogi Pendidikan Karakter
Strategi disini dapat dimaknai dalam kaitannya dengan
kurikulum, strategi dalam kaitannya dengan model tokoh, serta strategi dalam
kaitannya dengan metodologi. Dalam kaitannya dengan kurikulum, startegi yang
umum dilaksanakan adalah mengintergrasikan pendidikan karakter dalam bahan
ajar.[13] Artinya, tidak membuat kurikulum
pendidikan karakter tersendiri. Strategi yang kaitannya dengan model tokoh yang
sering dilakukan dunia pendidikan di negara-ngara Barat adalah bahwa seluruh
tenaga pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah harus mampu menjadi model
teladan yang baik (uswah hasanah).
Dalam kaitannya dengan metodologi, strategi yang umum
diimplementasikan pada pelaksanaan pendidikan karakter di negara-negara Barat
antara lain adalah strategi pemanduan, pujian dan hadiah, definisikan dan
latihan, penegakan disiplin, dan juga perangai bulan ini. Dan strategi lain
yang harus dipraktekan oleh guru pada umumnya ialah keaktifan guru bimbingan
dan konseling sebagai pendidik karakter.
Strategi pengembangan karakter yang diterapkan di
Indonesia yang dirancang oleh Kementrian Pendidikan Nasional (2010), antara
lain. Melalui transformasi budaya sekolah dan habituasi melalui kegiatan
ekstrakurikuler. Menurut para ahli bahwa implementasi strategi pendidikan
karakter melalui transformasi budaya dan perikehidupan sekolah, dirasakan
efektif dari pada harus mengubah dengan menambahkan materi pendidiakan karakter
kedalam muatan kurikulum.
Pusat Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional (2011)
dalam kaitan pengembangan budaya sekolah yang dilaksanakan dalam kaitan
pengembangan diri, menyarankan empat hal yang meliputi:
1). Kegiatan Rutin
Merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh peserta
didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Misalnya, uapcara bendera
setiap hari senin dan lainnya yang bersifat kontinyu.
2). Kegiatan Spontan
Merupakan kegiatan yang bersifat spontan, saat itu
juga, pada waktu terjadi keadaan tertentu. Misalnya, mengumpulkan sumbangan
bagi korban bencana alam dan lain-lain.
3). Keteladanan
Timbulnya sikap dan perilaku peserta didik karena
meniru perilaku atau sikap orang lain seperti dalam lingkungan sekolah adalah
guru dan tenaga kependidikan serta seluruh warga dewasa sekolah yang lainnya
yang berada pada sekitanya. Sehingga sudah menjadi keharusan bagi guru, tenaga
kependidikan, dan orang dewasa memberi telada sikap dan perilaku yang baik.
4). Pengondisian
Merupakan usaha menciptakan kondisi yang kondusif
untuk terlaksananya proses pendidikan karakter. Misalnya, kondisi meja guru dan
kepala sekolah yang ditata rapi, dan kondisi toilet bersih dan tidak bau.
PENUTUP
- A.
Kesimpulan
Pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sehingga
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab yang pada hakikatnya sangat dekat dengan perannya untuk
membentuk manusia yang berkarakter baik.
Dengan demikian, pendidikan karakter mempunyai visi
senantiasa mengarahkan diri pada pembentukan individu bermoral, cakap mengambil
keputusan yang tampil dalam perilakunya, sekaligus mampu berperan aktif dalam
membangun kehidupan bersama dalam tantangan global. Kemudian menurut Kementrian
Pendidikan Nasional, pendidikan karakter harus meliputi dan berlangsung pada.
1). Pendidikan Formal (pemerintah)
2). Pendidikan Nonformal (masyarakat)
3). Pendidikan Informal (keluarga)
Yang dari ketiga lembaga pendidikan di atas dalam
implementasinya harus saling berkerja sama dan melengkapi dengan baik, hal
demikian dilakukan agar terbentuknya sebuah kondisi dan suasana yang kondusif
serta nyaman dalam proses pendidikan dan pembentukan karakter bagi setiap
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Goble. Frank G., 1991, Mazhab Ketiga: Psikologi
Humanistik Abraham
Maslow, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Samani. Muchlas dan Hariyanto, 2011, “Konsep dan
Model” Pendidikan
Karakter, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Koesoema. Doni A, 2010, Pendidikan Karakter:
Strategi Mendidik Anak di
Zaman Global, Jakarta: Grasindo.
Mu’in. Fatchul, 2011, Pendidikan Karakter (Konstruksi
Teoretik dan Praktek),
Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Ihsan. Fuad, 2008, Dasar Dasar Kependidikan, Jakarta: RINEKA CIPTA.
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 dan Peraturan
Pemerintah Nomor
74 Tahun 2008. 2009, Tentang Guru dan Dosen, Bandung
: Citra
Umbara.
Wahjosumidjo, 1999, Kepemimpinan Kepala Sekolah
(Tinjauan Teoritik dan
Permasalahannya), Jakarta: Raja Grafindo.
Nasution. S., 1995, Sosiologi Pendidikan, Jakarta:
Bumi Aksara.
http://www.stp.dianmandala.org/2011/09/16/pembentukan-karakter-melalui-pendidikan-oleh-dalifati-ziliwu/
[1] S. Nasution, Sosiologi
Pendidikan, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 11
[2] Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun
2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008. Tentang Guru dan Dosen, (Bandung
: Citra Umbara, 2009), hal. 64
[3] Wahjosumidjo, Kepemimpinan
Kepala Sekolah (Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya), (Jakarta: Raja
Grafindo, 1999), hal. 158
[4] Ibid., UU RI No. 14 Tahun
2005, hal. 60-61
[5] Drs. H. Fuad Ihsan, Dasar Dasar
Kependidikan, (Jakarta: RINEKA CIPTA, 2008), hal. 2
[6] Fatchul Mu’in, Pendidikan
Karakter (Konstruksi Teoretik dan Praktek), ( Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA,
2011), hal. 287-290
[7] Doni Koesoema A, Pendidikan
Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, ( Jakarta: Grasindo,
2010), hal. 80
[8] Dian, Pembentukan Karakter
Melalui Pendidikan, yang di akses pada tanggal 6 Desember 2011 dalam situs http://www.stp.dian-mandala.org/2011/09/16/pembentukan-karakter-melalui-pendidikan-oleh-dalifati-ziliwu/.
[9] Prof. Dr. Muchlas Samani dan
Hariyanto, “Konsep dan Model” Pendidikan Karakter, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2011), hal.41
[10] Ibid., Fatchul Mu’in, hal.
293-294
[11] Frank G. Goble, Mazhab Ketiga:
Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991),
hal. 270.
[12] Ibid., Muchlas Samani dan
Hariyanto, hal. 19-20
[13] Ibid., 145.