Fundamentalisme Islam, Islamisme dan Demokrasi
PENDAHULUAN
Dewasa ini isu fundamentalisme agama menjadi topik utama dalam kehidupan keberagamaan tidak saja di tanah air, tetapi juga di seluruh dunia. Seperti apa yang disinyalir Karen Amstrong, hampir di setiap agama fundamentalisme selalu muncul, meski kadar dan bentuknya berbeda. Namun, gerakan fundamentalisme agama yang paling tampak berhadap-hadapan, khususnya di Indonesia, tidak lain kecuali terlibatnya dua agama Kristen dan Islam. Dalam Agama Kristen dan Islam, fundamentalisme agama kadang menampak pada sikap keagamaan pemeluknya, sementara di sisi lain fundamentalisme juga tidak jarang tampak meski hanya dalam batasan pemahaman ajaran agama semata. Kendati demikian, fundamentalisme agama tetap merupakan suatu fenomena yang masih tetap samar.
Kerancuan itu pada akhirnya berlanjut pada distingsi kelompok penganut agama. Artinya, cap fundamentalis terkadang diarahkan kepada pihak yang mengaku sebagai kelompok pembaharu. Terkadang dituduhkan oleh kelompok puritan tatkala melawan kelompok liberal, sementara tuduhan yang sama juga kerap dialamatkan kepada kelompok radikal-militan dengan gerakannya yang dinilai serba ekstrem. Hal yang sama juga terdapat pada term radikalisme dan terorisme, terjadi perluasan makna yang mengakibatkan tidak jelasnya batasan-batasan istilah tersebut.
Dalam makalah ini, penulis lebih menitik beratkan masalah fundamentalisme, radikalisme dan terorisme pada masa modern (saat ini), meski ada kajian sejarah tentang fundamentalisme, radikalisme dan terorisme pada masa klasik.
PEMBAHASAN
A. Sejarah Fundamentalisme, Radikalisme dan Terorisme dalam Islam
Menurut penulis bahwa faham fundamentalisme telah lahir sejak masa klasik. Meski kami belum menemukan peristiwa awal yang menjadi fenomena eksistensi fundamentalisme, akan tetapi kita dapat mengambil beberapa gerakan dalam Islam sebagai bukti bahwa fundamentalisme telah lahir pada masa itu.
Salah satu fenomena yang sangat terkenal yang mengingikan pemurnian ajaran Islam terjadi pada masa Imam Syafi’i. Meski gerakan pemurnian tersebut telah diinginkan pada masa sebelum Syafi’I, akan tetapi beliaulah dengan gemilang berhasil menggerakkan dan mempopulerkan gerakan tersebut.[1]
Paham fundamentalisme saat itu lebih terkotak kepada masalah hukum dan sumber-sumbernya. Pada masa sebelum dan masa Imam Syafi’I, pendapat-pendapat hukum telah meluas sumbernya, tidak hanya berdasarkan sumber-sumber yang diakui dalam Islam. Ra’yu yang tidak bisa dibuktikan berdasarkan dari sumber-sumber Islam akhirnya ditolak oleh Syafi’I sebagai sumber dalam menetapkan hukum. Imam Syafi’I terkenal dengan gerakannya kembali kepada sunnah dalam menetapkan hukum. Karena itulah ia dijuluki sebagai nashir al-hadis.
Sementara itu, radikalisme dan terorisme lebih mudah menelusurinya. Sebut saja gerakan Khwarij dan Syi’ah yang menginginkan perubahan radikal dalam pemerintahan Islam saat itu. Untuk mencapai tujuannya, sebagian dari kelompok Syi’ah dan hampir seluruh kelompok Khawarij menggunakan cara-cara kekerasan yang menimbulkan rasa ketakutan di kalangan kaum muslimin. Dalam sejarah, tercatat banyak perang untuk menumpas gerakan-gerakan ini, baik pada masa Khilfah Rasyidah, Bani Umayyah, Bani Abbasiyah dan seterusnya.
B. Fundamentalisme
Arti Fundamentalisme
Menarik untuk diajukan sebuah pertanyaan, siapakah sebenarnya yang disebut kelompok fundemantalis itu? Untuk mengurai pengertian istilah tersebut, patut disimak pernyataan Daniel B. Stevick, “we are all talking about something which we know exists, but which no one defines”. Ternyata, kendati istilah “fundamentalisme” sering dipakai, tetapi tidak selalu menunjuk pada arti yang sama.[2]
Salah satu penyebab perbedaan definisi itu karena peneliti berbeda pandang dalam mendekati gejala “fundamentalisme”. Ada yang hanya menekankan aspek sosial semata, sebagian lain memusatkan perhatian pada aspek politis. Ada juga yang memberikan perhatian pada aspek doktrin religiusnya. Namun yang paling umum, gerakan fundamentalisme dihubungkan dengan dua sikap yang sangat menyolok, yakni sikap ekstremitas dan sikap puritan yang bertumpu kepada pemurnian agama.
di sini dimengerti sebagai sikap penganut agama yang hanya menekankan aspek ketaatan secara harfiah atas sejumlah prinsip keagamaan yang dianggap mendasar. Jika demikian halnya, maka fundamentalisme tidak cukup hanya diidentifikasi sebagai sikap ekstremitas suatu kelompok puritan semata, melainkan juga melanda di kalangan yang dianggap sekuler, modernis dan bahkan tradisionalis dalam memegangi prinsip keagamaannya.
Komunitas yang majemuk itu dibiasakan untuk saling menghormati dan menyadari adanya perbedaan. Pada saat negara tak mendorong komunitasnya mengakui perbedaan, maka mereka akan kesulitan menyatakan identitasnya. Dalam kebingungannya itu maka hal yang paling mungkin untuk dilakukan adalah kembali kepada identitas tradisional yang mereka miliki.
Fundamentalisme Islam
Dalam komunitas Islam, munculnya istilah fundamentalisme yang berasal dari Barat sering kali dikecam. Mantan Menteri Agama, Tarmizi Taher, mengatakan bahwa pemeluk Kristen Protestanlah yang pertama kali menggunakan istilah fundamentalisme. Mereka ingin kembali ke dasar ajaran agama dengan menafsirkan kitab suci secara harfiah.
Bassam Tibi, dalam buku The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder (1998) memandang fundamentalisme Islam hanya salah satu jenis dari fenomena global yang baru dalam politik dunia, di mana isunya pada masing-masing kasus lebih pada ideologi politik.[3]
Kelompok ini berpendapat, Barat telah gagal dalam menata dunia. Karena itu, perlu diganti dengan tatanan baru berdasar interpretasi politik Islam versi mereka. Namun, selama ini, hal itu baru sebatas retorika. Mereka bisa saja merancang terorisme dan kekacauan. Tetapi, Tibi mengingatkan, sebenarnya Islam fundamentalisme itu beragam dan saling bersaing. Maka sulit membayangkan mereka bisa menciptakan tatanan baru yang komprehensif secara ekonomi, politik, dan militer.
Fundamentalisme-radikal dapat dicegah seiring tumbuhnya kedewasaan umat beragama. Kedewasaan umat beragama itu akan tumbuh jika mereka mendapat pemahaman yang memadai tentang pluralitas dan pentingnya toleransi beragama. Sikap saling menghargai dan menghormati dalam pergaulan antaragama dan antarbangsa dalam suasana yang penuh persamaan dan persaudaraan harus tumbuh dari setiap jiwa umat beragama
C. Fundamentalisme Islam dan "Universitas Jihad"
Kelompok fundamentalisme Islam atau Islamis radikal terbagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang bersifat nasional dan regional, yang bergerak dalam satu negara (nasional) dan beberapa negara (regional) tertentu. Kedua, kelompok yang bersifat transnasional atau supranasional yang tidak terikat kepada negara tertentu. Kelompok ini dikenal pula dengan nama neofundamentalis, neoislamis, dan jihadis. Kaum fundamentalisme Islam atau Islam radikal umumnya menganggap demokrasi sebagai sistem kufr, kafir. Berdasarkan prinsip ini, mereka semula mengharamkan mengambil dan menerapkan sistem demokrasi.[4]
Kelompok Islamis radikal nasional dan regional adalah mereka yang berusaha mendirikan negara Islam dengan menggunakan kekerasan, termasuk menghilangkan nyawa manusia kalau perlu. Bagi kelompok ini, syarat pertama mencapai tujuan adalah menjatuhkan secara paksa penguasa suatu negara (nasional) atau beberapa negara (regional), mengambil alih kekuasaan, kemudian mendirikan negara Islam. Kelompok Islamis radikal juga menggunakan konsep takfîr, yaitu mengafirkan semua orang Islam di luar kelompok mereka dan menghalalkan darah dan harta benda mereka. Berdasarkan ajaran-ajaran tersebut, kelompok ini juga dikenal dengan nama Khawârij al-judud (neo-Khawârij).
Adapun Islamis radikal transnasional atau supranasional adalah kelompok Islamis yang lebih memusatkan perhatian dan kegiatannya dalam memerangi pemerintah yang selalu menekan dan hendak memberantas gerakan Islam di negaranya. Anggota kelompok Islamis radikal transnasional tersebar di seluruh dunia. Umumnya mereka menggunakan dua bahasa (Inggris dan Arab) dalam berkomunikasi. Mereka berasal dari berbagai negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Mereka direkrut dari berbagai kelompok Islamis, seperti Al Qaeda, Ikhwân al-Muslimîn, Salafi, Jamaah Tabligh, Jamaah Islamiyah, dan Jama’at-i Islami.
Islamisme dan demokrasi
Syukurlah, sejarah sedang berubah. Islam radikal dan fundamentalis yang antidemokrasi kini sebagian bergabung ke dalam poros demokratisasi. Doktrin George W Bush dan kubu neokonservatif (hawkish) di Gedung Putih yang telah lazim disebut imperialisme demokratik seakan menemukan tantangan baru dengan kemenangan islamisme dalam pemilu demokratis di dunia Islam, seperti Hamas di Palestina, Refah di Turki, dan seterusnya.
Dalam kasus Hamas, meminjam bahasa Fareed Zakaria (2006), AS menggunakan standar ganda dalam agenda "imperialisme demokratiknya": menolak atau menegasikan kemenangan kelompok islamisme yang dianggapnya hanya akan memunculkan kekuasaan para fundamentalis Islam semacam mullah ala Iran atau teokrat ala Taliban. Setidaknya fakta ini telah menimbulkan fobia Islam dan menjadi momok bagi AS/Barat dalam kasus Palestina yang masyarakatnya justru telah memilih demokrasi. [5]
Di negara-negara Muslim kemenangan Islam politik (baca: islamisme) dalam pemilu yang demokratis sebenarnya merupakan suatu pengalaman dan perkembangan baru. Kemenangan elektoral Hamas di Palestina yang mengejutkan AS/Barat, seperti halnya kemenangan Refah di Turki dan FIS di Aljazair tempo hari, semestinya membuka mata hati AS/Barat tentang betapa signifikannya saling pengertian dan pemahaman antara para pemimpin AS/Barat dan tokoh islamisme di dunia Muslim dalam mempraktikkan demokrasi. Dalam konteks Palestina, penyusunan skenario oleh AS dan Israel untuk menggulingkan Hamas hampir pasti kontraproduktif dan meningkatkan resonansi politik anti-Barat di dunia Islam.
Kemenangan Hamas membuktikan ketidaksahihan pandangan islamolog di Barat yang mengemukakan bahwa islamisme telah mundur dan gagal memperjuangkan dan mempertahankan kekuasaan politik di wilayah Muslim.
Namun, dewasa ini sejarah berbicara lain. Pandangan para islamolog dan orientalis itu tidak selalu benar. Fakta historis memperlihatkan bahwa di Palestina Hamas memenangi pemilihan umum. Di Turki Refah masih berjaya. Di Lebanon Hizbullah terus berkembang. Di Iran dan Irak politik Syiah terus menguat. Sementara itu, di kawasan Asia Tengah (Uzbekistan, Kirgistan, Kazakhstan, dan Tajikistan) gerakan Hizbut Tahrir memperoleh dukungan rakyat dengan meyakinkan. Hizbut Tahrir berkembang di kawasan itu karena tidak ada kelompok oposisi yang efektif. Situasi ini, dimanfaatkan Hizbut Tahrir dengan memperlihatkan dirinya sebagai satu-satunya kelompok oposisi terhadap elite penguasa. Tiadanya kekuatan oposisi sekuler di Asia Tengah telah mendorong Hizbut Tahrir menjadi political vehicle yang reasonable, apalagi mereka memiliki kemampuan berorganisasi yang baik dan memperoleh sumbangan dana dari negara-negara Timur Tengah untuk mengembangkan kegiatan politiknya.
Memahami Gejala Fundamentalisme
Fundamentalisme sering mempunyai citra negatif. Peristiwa bunuh diri massal David Koresh dan pengikutnya, yang dikenal sebagai kelompok fundamentalis Kristen "Davidian Branch," pada pertengahan April lalu, hanya memperkuat citra bahwa kaum fundamentalis adalah orang-orang sesat. Di tempat kelahirannya, Amerika Serikat, fundamentalisme punya makna pejoratif seperti fanatik, anti intelektualisme, eksklusif yang sering membentuk cult yang menyimpang dari praktek keagamaan mainstream.[6]
Mempertimbangkan perkembangan historis dan fenomena fundamentalisme Kristen, sementara orang menolak penggunaan istilah "fundamentalisme" untuk menyebut gejala keagamaan semacam di kalangan Muslim. Tapi terlepas dari keberatan-keberatan yang bisa dipahami itu, ide dasar yang terkandung dalam istilah fundamentalisme Islam ada kesamaannya dengan fundamentalisme Kristen; yakni kembali kepada "fundamentals" (dasar-dasar) agama secara "penuh" dan "literal", bebas dari kompromi, penjinakan, dan reinterpretasi.
Dengan mempertimbangkan beberapa karakteristik dasar itu, maka fundamentalisme Islam bukanlah sepenuhnya gejala baru. Muhammad bin 'Abd al-Wahhab dengan kaum Wahhabiyyah bisa dikatakan sebagai gerakan fundamentalisme Islam pertama yang berdampak panjang dan luas. Gerakan Wahhabi muncul sebagai reaksi terhadap kondisi internal umat Islam sendiri; tidak disebabkan faktor-faktor luar seperti penetrasi Barat.
Banyak ahli dan pengamat menilai di masa kontemporer fundamentalisme menggejala jauh lebih kuat di kalangan kaum Muslim dibandingkan di kalangan penganut agama-agama lain. Hal ini tentu saja kontras dengan kenyataan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim, yang termasuk ke dalam Dunia Ketiga, dalam beberapa dasawarsa terakhir telah dan sedang menggenjot proses modernisasi. Modernisasi, menurut banyak sosiolog, pada gilirannya menimbulkan sekularisasi. Dengan kata lain, dalam masyarakat modern yang bersifat saintifik-industrial, kepercayaan, komitmen dan pengamalan keagamaan mengalami kemerosotan.
Teori modernisasi-sekularisasi ini nampaknya semakin kehilangan relevansinya. Harvey Cox misalnya belum lama ini dalam bukunya Religion in the Secular City: Toward a Postmodern Theology (1984) terpaksa "merevisi" teori modernisasi-sekularisasinya seperti yang dikemukakannya dalam The Secular City (1965). Sejauh menyangkut Islam, Ernest Gellner berpendapat, "menyatakan sekularisasi berlaku dalam Islam tidak hanya bisa diperdebatkan. Pandangan seperti itu jelas keliru. Islam sekarang tetap kuat seperti seabad lampau. Bahkan dalam segi-segi tertentu, semakin kuat.